Hutan adat di Jorong Sitingkai menjadi tujuan survival aku pada pekan ini. Kabarnya di hutan adat tersebut markasnya bunga langka yakni, Rafflesia Arnoldi.
Mendengar nama Rafflesia, telinga aku mulai serius mendengarnya. Satu persatu cerita dari seorang pemuda bernama Heru, warga Jorong Sintingkai, Nagari Koto Rantang, Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, aku dengarkan dengan hikmat.
Heru ini adalah seorang pemandu wisatawan untuk melihat bunga Rafflesia Arnoldi yang sudah ditekuninya beberapa tahun terakhir.
Bahkan, ia sudah banyak mendampingi wisatawan asing dan lokal untuk melihat bunga langka yang tumbuh di kampung halamannya.
Soal pribadi Heru ini, aku sudah cukup lama mengenalinya. Karena ia sering menjadi narasumber aku dalam produksi berita seputar bunga Rafflesia Arnoldi maupun Amorphophallus titanum atau dikenal dengan bunga bangkai.
Heru menawarkan kepada aku, bahwa di hutan adat Sitingkai terdapat lokasi menarik untuk menggelar kegiatan survival sembari melihat bunga Rafflesia Arnoldi.
Bergegas aku menyusuri jalan setapak menuju hutan adat Sitingkai bersama Heru serta tim Padang Survival Buschraft. Sebelumnya ke lokasi ini, aku sudah mempersiapkan peralatan survival. Hal yang sama juga dipersiapkan oleh tim aku baik itu kebutuhan konsumsi dan lainnya.
Menuju hutan adat Sitingkai dari permukiman warga menelan waktu kurang lebih 45 menit dengan berjalan kaki. Kemudian bekas lahan persawahan menjadi awal jalur aku dan tim menjelajah hutan adat Sitingkai itu.
Satu persatu anak sungai kecil diseberangi dan tantangan yang menarik lainnya, disepanjang jalan aku banyak melihat Pacet atau sejenis lintah darat. Karena hal ini sudah biasa bagi aku, maka ketika masuk hutan sebelumnya sudah mengikhlaskan jika darah manis aku dinikmati Pacet ini.
Perjalanan terus berlanjut, karena aku menggunakan sepatu dan kaus kaki yang cukup tebal, Pacet ini tidak hinggap di kaki aku.
Akhirnya, tiba di jalur pendakian. Disini aku harus lebih hati- hati, sepanjang kiri dan kanan jalan, banyak ditemukan tumbuhan jelatang. Kalau sempat bersentuhan dengan kulit, maka akan menimbulkan gatal dan pedih.
Beruntung aku cukup kenal dengan jenis tumbuhan jelatang, sehingga perjalanan cukup aman.
30 menitan perjalanan sudah dilalui, langkah aku sudah mulai mengecil, karena tanjakan cukup tajam. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti sejenak. Sembari berhenti, aku melihat bungkalan bunga Rafflesia Arnoldi. Diperkirakan sekitar satu bulan lagi akan mekar sempurna.
Setidaknya pada waktu istirahat itu, aku melihat lebih kurang 5 pot bungkalan bunga Rafflesia, tentu dengan ukuran yang bervariasi.
Kemudian aku langsung mengambil ranting dan membuat pembatas di dekat bunga Rafflesia, tujuannya agar bunga langka ini tidak dirusak oleh satwa seperti tupai dan babi.
Perjalanan terus berlanjut, Heru menceritakan kepada aku, bahwa di lokasi terdapat air terjun. Aku langsung bergegas mendaki, kemudian langsung menuruni lembah. Akhirnya dengan cukup sabarnya aku, sampai juga di air terjun 7 tingkat Sitingkai.
Di lokasi ini, aku beristirahat sejenak sembari survival food dengan bahan masakan yang sudah dibawa dari rumah.
Pada waktu yang bersamaan, tim aku juga langsung membuat api dan menghangatkan air untuk bikin kopi.
Ngopi di hutan memang memberikan sensasi tersendiri, apalagi sembari mendengarkan suara alam dan percikan air terjun.
Kemudian nasi pun masak, kami langsung makan. Sementara kami menggunakan daun pisang hutan sebagai alas atau piring makan.
Sangat sederhana, hal ini membuat aku bahagia. Tidak perlu jauh-jauh mencari kebahagian, hidup berdampingan dengan alam nan masih asri sudah melebihi segalanya bagi aku.
Oh ya, bagi teman ini melihat seperti perjalanan aku survival di hutan adat Sitingkai silahkan mampir di YouTube aku ya.
Salam lestari.