Membakar malas!
Itu awal kata pembuka narasi dalam perjalanan pertama aku ke Sarasah Pagadih Gadang, Kenagarian Pagadih, Kecamatan Palupuah, Kabupaten Agam.
Menerobos hutan belantara tanpa rasa takut dan tidak pedulikan beratnya kaki melangkah, satu persatu lereng perbukitan aku lalui, hingga sampai di sekeping surga di daerah lintasan sejarah PDRI ini.
Aku berangkat ke lokasi barengan teman-teman wartawan di Kota Bukittinggi, ada Uda Donal Chaniago dari tvOne, Debi dari covesia.com dan Uni Dina dari Padangtv.
Di Nagari Pagadih, kami disambut hangat oleh wali nagari Pagadih dan anggota Pokdarwis setempat. Aku ingat beberapa nama saja, ada Edo Iswara, Rizky, Isan, Nurul dan Naldi. Mereka generasi tangguh dan kreatif yang dimiliki oleh daerah setempat.
Meskipun baru kenal, tapi aku sangat apresiasi warga setempat yang ramah melayani wisatawan seperti kami.
Sebenarnya ada kisah menyedihkan dan membahagiakan selama perjalanan, mulai dari rekan perjalanan yang bermasalah dengan trek yang akan dilalui. Sementara kabar bahagianya, gurauan selama di ke lokasi, membuat kami kompak dan semangat menuju Sarasah Pagadih Gadang.
Nah, selama perjalanan kita memang dibutuhkan pisik yang fiks dan semangat yang tangguh, hingga sampai ke lokasi dengan tepat waktu.
Kami menargetkan, bisa sampai ke lokasi kurang lebih 1,5 jam perjalanan dan Alhamdulillah, membuahkan hasil. Kendati salah satu teman saya tidak bisa sampai dan harus kembali ke bawah dan beristirahat di rumah warga setempat.
Aku termasuk orang yang gak sabaran, beberapa meter berjalan selalu menanyakan ke juru kunci perjalanan, apakah masih jauh atau dekat? Ia hanya menjawab setiap bertanya, masih dekat kok! Sehingga aku terus penasaran agar cepat sampai dan melihat sekeping surga di Pagadih itu.
Jalan setapak dan berlumpur memaksakan aku melawan malas, sehingga aku bisa dan selamat ke lokasi.
Oh, sungguh luar biasa. Jika aku bayangkan perjuangan adventure kali ini. Bahkan setiap aku berhenti, ingin mengabadikan semua cerita perjalanan.
Lanjut melangkah, hingga aku terdengar suara gemuruh air terjun. Oh Tuhan, aku memang sudah sampai, air terjun atau sarasah dengan ketinggian 30 lebih dan bertingkat itu, menyambut kami dengan ramah.
Percikan air terjun membasahi muka ku yang dipenuhi keringat dan telah merah padam berubah menjadi pucat kedinginan. Air sarasah itu memang dingin, bahkan aku tak berani nyemplung. Padahal ingin sekali, mengulang masa kecil. Terjun bergaya salto dan sebagainya, he he.
Aku langsung mengambil kamera, naik ke atas batu dan mengabdikan kisah manis ini dan meyakinkan pada dunia, aku juga seorang bapak satu anak masih ber manja dengan air terjun dan masih bersemangat menaklukan hutan belantara demi air terjun.
Usai mengabadikan momen berharga itu, kami harus bergegas pulang. Karena waktu sudah menunjukan pukul 16.00 WIB. Tak terasa saja, pulang lebih cepat dari pada pergi, kami sampai di perkampungan warga pukul 17.30 WIB.
Wow, aku hanya senyum-senyum sendiri, aku belum puas. Aku ingin ke sana lagi, ini asik dan menarik. Aku ingin mengajak pembaca, bersahabat dengan alam itu hal menyenangkan. Mari kita jaga alam ini dengan baik.