Dimoment HUT ke-74 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, saya akan mengulas perjalan singkat semangat kaum muda di Kota Bukittinggi mengibarkan sangsaka merah putih di puncak Jam Gadang, pada awal proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebelumnya saya melihat semarak pawai yang digelar oleh ribuan siswa di Kota Bukittinggi, mulai dari Lapangan Kantin menuju Jam Gadang. Sayangnya perayaan seperti pawai, saya melihat hal yang biasa, digelar oleh masyarakat Indonesia.
Di Bukittinggi, salah satu kota yany pernah menjadi Ibu Kota Republik Indonesia, menyimpan seribu cerita pada perjuangan Kemerdekaan.
Salah satunya, perjalanan singkat Mara Karma, seorang jurnalis dan seniman lukis yang sudah mulai hilang ditelinga siapakah tokoh yang satu ini. Baru-baru ini, saya agak fanatik terhadap sejarah Fort De Kock, hingga saya mencari banyak sumber tentang Fort De Kock atau Bukittinggi.
Nah, pada hari ini, saya tertarik mengulas tentang Mara Karma, putra terbaik Bukittinggi, lahir pada 1926 dan meninggal pada 24 Desember 2001 di usia 75 tahun.
Saya mengenal Mara Karma dari mulut kemulut, sehingga saya mulai kagum, siapa aktivis yang satu ini. Yap, Mara Karma salah satu aktivis yang menggerakkan masa untuk melawan Jepang yang pada saat itu masih bersemayam di Kota Bukittinggi. Mara Karma berhasil mengibarkan sangsaka merah putih di puncak Jam Gandang pada awal proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945.
Perjuangan Mara Karma dan kawan-kawan wajib di kenang, ia lah sosok anak muda yang jarang ditemui, terkait semangatnya dengan kaum muda mellenial saat ini.
Selain semangatnya bergelora, Mara Karma terkenal sebagai seniman lukis. Mara salah satu murid Wakidi, legendaris pelukis Indonesia. Mara menempuh pendidikan di Indonesisch Nederlandche School (INS) Kayu Tanam. Bahkan Mara Karma pernah ke Eropa memperdelam ilmunya.
Kemudian pada 1950, Mara Karma mendirikan majalah Mutiara. Kemudian ia juga tercatat sebagai pendiri Harian Indonesia bersama teman sebangku sekolah di INS, Mochtar Lubis. Gejolak Orde Lama Mara tidak lagi aktiv di dunia pers.
Pada tahun 1966 sampai 1970 Mara Karma kembali aktif di dunia pers, bergabung dengan harian Abadi serta menjadi pimpinan redaksi Harian Angkatan Bersenjata pada tahun 1971 sampai 1974.
Seiring bekerja menjadi jurnalis, Mara Karma juga menjadi anggota pimpinan Harian Dewan Kesenian Jakarta. dan ketua Himpunan Pelukis Jakarta.
Nah, itu saja sepenggal kisah Mara Karma, pengibar Bendera Merah Putih di Puncak Jam Gadang pada 1945.